Kisah Jatuh Bangun Bisnis Wardah
Reporter : Ismoko Widjaya | Rabu, 17 Juni 2015 17:00
Nurhayati Subakat (Koleksi Wardah Cosmetics)
Dikerjakan bersama pembantu. Nyaris bangkrut dan menutup pabrik. Mulai lagi dari nol. Gaji karyawan diambil dari gaji suami. Sejarah Wardah adalah kisah kerja keras dan keringat.
Dream - Melewati sejumlah kelokan, sampailah kita di jalan itu. Swadharma Raya Kampung Baru, Jakarta Selatan. Dan sepintas tak ada yang istimewa dengan rumah nomor 60 itu. Begitu gerbang dibuka, dua Satpam bersiaga menyambut. Halaman parkir cukup untuk belasan mobil. Cuma ada sebatang pohon bertinggi sedang di halaman itu. Ruang tamu rumah itu bergaya minimalis.Antik dan terasa begitu nyaman. Buku seputar mode dan kecantikan ditumpuk di meja. Di sudut ruang berdiri baliho kecil bergambar dua wanita berparas permai. Yang sedang tersenyum itu Inneke Koesherawati. Dan wanita di sebelah kanan itu Dian Pelangi.Wajah keduanya berkilau sama.
Di sisi kanan rumah itu ada jalan ke belakang. Ada halaman luas di sana. Sebelah kanan halaman itu, berdiri bangunan minimalis tapi modern. Juga bersih. Gerimis siang itu, menyebabkan alas sepatu kami dibalut lumpur tipis. Dan lumpur itu mengambar di lantai begitu kami menapak.
Malu juga melihat gambar alas sepatu itu membekas. Belum hilang rasa terkejut lantaran jejak sepatu itu, seorang Ibu menyapa kami. Dia ramah. Terus tersenyum sembari mempersilahkan kami duduk mengitari meja kaca itu. Meja itu panjang, bening bersih. " Maaf Bu, lantainya jadi kotor," seorang di antara kami meminta maaf bercampur malu atas jejak itu. " Waduh, ngga apa-apa mas," Ibu berusia 60-an itu menimpal.
Wanita bersahaja, yang berkali-kali menawarkan minuman itu adalah Nurhayati Subakat. Dan mungkin kita lebih mengenal merk dagangan yang dibesarkannya dari rumah itu berpuluh tahun: Wardah. Ya, wanita yang dibalut hijab biru itu adalah orang dibalik kegemilangan Wardah, perusahaan kosmetik kecantikan yang meraksasa dan setiap produk besutannya sohor ke mana-mana itu.
Kosmetik kecantikan ini sudah dipakai berjuta orang. Para wanita muda. Ibu rumah tangga. Wanita karir. Para pesohor yang bermunculan di layar televisi kita. Bahkan hingga ke manca Negara. Wardah juga sudah mensponsori begitu banyak hajatan besar. Sekedar menyebut satu: Indonesian Idol, tayangan yang membetot berjuta mata itu.
*****
Cerita tentang Nurhayati, bukan cerita tentang kecantikan belaka, tapi juga kisah
tentang gagasan. Kejelian melihat pasar. Jatuh bangun membesut bisnis.
Pantang menyerah. Keringat. Dan selalu melihat " Pertolongan dari Atas"
pada setiap kemajuan yang dilalui.Lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 27 Juli 1950, dia melewati masa belia di kota di sana. Dia sekolah di Diniyah Putri. Lalu pindah ke kota Padang. Masa remajanya dilewati di kota itu. Menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di situ. Sesudah lulus dari sekolah menengah, dia kuliah di Jurusan Farmasi Institut Teknologi Bandung. Dia cerdas. Juga rajin belajar. Kuliah tuntas lalu wisuda tepat pada waktu.
Kecintaan pada kampung halaman, memulangkan Nurhayati ke Sumatera Barat sesudah wisuda itu. Dia bekerja sebagai apoteker di Rumah Sakit Umum di Padang. Merasa cukup berbakti di sana, dia memilih pindah ke Jakarta. Bekerja sebagai staf quality control di sebuah perusahaan kosmetik yang sudah sohor. Bekerja di perusahaan itu adalah dambaan para professional muda lulusan farmasi. Dari rumahnya di Kebayoran lama, Nurhayati melaju ke kantor perusahaan di timur Jakarta itu. Saban hari begitu.
Dan karir di situ sesungguhnya sudah mulai berkilau. Tapi sebuah kejadian kecil di perusahaan ini mendorongnya keluar. " Saya kurang cocok dengan seorang petinggi di situ," kenangnya kepada Dream.co.id.
Keluar dari perusahaan raksasa itu, dia tak mau menyerah. Dapur harus mengepul. Semangat harus menyala. Dua anaknya beranjak remaja, butuh uang yang cukup. Dia lalu memulai bisnis sendiri. Dan itu tahun 1985. Sebuah industri rumahan. Semula tenaga kerjanya cuma satu orang. Pembantu rumah tangganya sendiri. Produk pertama yang dibesut adalah sampo dengan merek Putri. Dan membesarkan si putri itu mengucurkan keringat.
Si Putri itu mekar berkembang. Keuangan juga mulai berkilau. Meski pelan diterima pasar. " Alhamdulillah, sebagian besar salon menerima produk kami," kata Nurhayati mengenang masa pahit itu. Saat itu sejumlah produk besutannya dikenal di salon-salon ternama di Jakarta. Sudahlah bisa diramalkan, masa depan perusahaan ini bakal kemilau.
Tapi cobaan berat itu datang lima tahun kemudian. Pabriknya hangus terbakar. Usaha yang dirintis dari nol itu tiba-tiba saja jadi arang. Lenyap juga semua mimpi yang sudah lama menyala itu.
Dihantam krisis ke titik nadir seperti itu, Nurhayati hendak menutup perusahaan itu. Matematika bisnis sudah tak mungkin membangkitkan usaha itu. Sudah tak masuk akal. Utang dibank belum lunas. Ketika usaha ini merangkak naik, Nurhayati memang membeli secara kredit sebuah mobil box. Mobil itulah yang mengantarkan si Putri ke salon-salon. Jadi? Jalan paling masuk akal, tutup itu usaha. Tapi Nurhayati bukan seorang pebisnis belaka. Dia juga seorang ibu, yang bisa meleleh air mata memikirkan nasib para karyawannya. " Bila perusahaan saya tutup, bagaimana nasib mereka," kenangnya mengingat masa-masa susah itu. Mencoba bangkit juga sungguh tak gampang.
Pabrik sudah hangus. Menyerah bukan pilihan.
Dan Nurhayati adalah kata lain dari tekad. Dia mulai lagi. Dari nol. Benar-benar nol. Modal awal pinjam dari tabungan suami. Bayar gaji karyawan diambil dari gaji bulanan suami. Kerja keras episode kedua ini juga ada hasilnya. Mesin pabriknya kembali menyala, " Bahkan bisa bayar gaji dan THR para karyawan," kisahnya.
Sesudah itu mesin pabriknya terus menderu. Begitu untung, dia melakukan inovasi. Dan salah satu inovasi itu masuk ke bisnis kosmetik. Nurhayati jitu membidik konsumen. Merekam apa yang diperluka dunia di sekitarnya. Dari pergaulan sehari-hari dia merasa bahwa ada kebutuhan para muslimah untuk tampil elegan. Merias diri secara bebas tanpa perlu cemas soal halal tidaknya sebuah produk.
Nurhayati seperti menemukan rumah usahannya. Dia membidik segmen muslimah itu. Meramu produk kosmetik yang kini kita kenal dengan nama Wardah. Bunga mawar yang indah. Perlahan si bunga itu mekar. Merangsek pasar. Mulai dikenali dan jadi kosmetik langanan kalangan kelas menengah ke atas. Kaki bisnis ini kuat. Konsumen juga setia. Kesetian pemakai dan manajemen yang kuat membuat Wardah sanggup melewati badai krisis yang menggulung ekonomi Indonesia 1997.
Banyak cara ditempuh memasarkan produk kosmetik ini. Selain lewat sejumlah agen di beberapa kota besar, Wardah juga dipasarkan dengan cara Multi Level Marketing (MLM). Dan kerja keras itu memang ada hasilnya. Produk Wardah terus berkembang seiring dengan membaiknya ekonomi nasional. Modal juga kian banyak. Laba yang diraih dipakai untuk terus memperluas jaringan pasar. Wardah kemudian merangsek ke pasar Negara tetangga. Masuk ke kota-kota di Malaysia. Dan di sana sejumlah produknya laku keras. Diminati banyak muslimah di sana, bersaing dengan produk negeri serumpun itu.
Kini Wardah menjadi salah satu produk kosmetik terbesar di negeri ini. Banyak tokoh wanita dan pesohor yang memakai produk kosmetik dan menjadi bintang iklan perusahannya. Inneke Koesherawati dan Dian Pelangi, yang ada dibaliho kecil di ruang tamu itu, adalah dua contoh bintang itu. Inneke adalah mantan artis. Dian Pelangi adalah desainer hijab yang sukses dan sudah melalangbuana ke sejumlah Negara. Dua wanita cantik itu adalah bintang iklan Wardah. Syuting iklan itu hingga ke kota Paris.
*****
Selain Wardah itu, dia juga meluncurkan produk merek lain seperti Zahra, Camilla, Fadila dan Muntaz. Omset seluruh perusahaannya menjulang ke bilangan Rp200 miliar. Sudah cukup? Belum. " Ini semua belum mencapai puncaknya," katanya kepada Dream.co.id.
Nurhayati bertekad meraih pasar yang lebih luas. Go international. Dia mematok memasang target, perusahaan ini harus go public tahun 2016. Dan itu bisa saja terjadi. Masih ada waktu dua tahun. Meski sudah menyusun rencana besar itu, pada usia 63 tahun, Nurhayati kini mulai menepi. Kendali perusahaan diserahkan kepada kedua anaknya. Kedua anaknya itu juga lulusan ITB. Memegang kendali pemasaran dan produk, dua sektor penting yang menjadi ujung tombak perusahaan ini. Mereka siap go internasional.
ampir 28 tahun menekuni bisnis ini, Nurhayati memperkirakan bahwa segmen muslimah dan kecantikan ini bakal terus bersinar. Bahkan pesat melaju. Tapi dia berharap agar bisnis ini tidak akan pernah mencapai puncak. “ Saya justru berharap, bisnis mode, lifestyle muslim ini jangan pernah berada di puncaknya dulu,” katanya. Sebab begitu mencapai puncak, lanjutnya, tinggal menunggu waktu untuk turun.
PT Paragon Technology and Innovation, perusahaan yang menaungi setidaknya 300 item kosmetik itu pesat berkembang. Tumbuh 50 persen setahun. Padahal secara umum, bisnis kosmetika di Indonesia tumbuh dengan rata-rata 10 hingga 15 persen.
Size bisnis segmen muslimah ini, kata Nurhayati, kian melebar lantaran bertumbuhnya fashion muslim yang lifestyle. Lebih modis tapi tetap bermartabat. Dan anak-anak muda seperti hijabers lebih agresif dalam perkara ekspansi dagang. Itu sebabnya Nurhayati menyala optimismenya begitu bicara soal masa depan perusahaan yang dirintis dengan susah payah itu.
Kini, Paragon membuka pabrik di dua lahan yang luas. Dari semula dikerjakan bersama pembantu di rumah, perusahaan ini memperkerjakan 4000 ribu lebih karyawan.
Kesuksesan itu diapresiasi banyak orang dan lembaga. Sebuah Majalah Mingguan di Jakarta memberi penghargaan kepada sebagai salah sati Chief Executive Officer (CEO) terbaik di Indonesia. Sejumlah penghargaan lain juga sudah diterima.
Di usia yang tak lagi terbilang muda, Nurhayati kini diundang banyak orang, banyak lembaga demi membagi resep dan kisah suksesnya. " Saya memulainya dari situ," katanya kepada Dream.co.id, sembari mengarahkan pandangan ke sebuah rumah di belakang kantor itu. Dan kami semua menoleh ke situ.
sumber:http://www.dream.co.id/fresh/kisah-jatuh-bangun-bisnis-wardah-140430f.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar